Cerita Asal-Usul Nama Klenteng, ini Penjelasan Lengkapnya
Klenteng
Asal-Usul Klenteng, Tempat Ibadah saat Perayaan Imlek (Sumber : Instagram @febrianus97)

JOGJACORNER.ID - Perayaan Imlek 2023 semakin dekat. Momen tersebut tentunya sangat ditunggu-tunggu masyarakat Tionghoa. Seperti yang telah diketahui, perayaan Imlek identik dengan Klenteng.

Setiap Imlek tiba, Klenteng di berbagai penjuru dihiasi dengan pernak pernik khas Imlek. Selain itu, tempat ibadah tersebut menjadi lebih ramai daripada hari biasanya.

Ketika mengunjungi Klenteng, pernahkah kalian berpikir mengenai sejarahnya? Mengapa diberi nama seperti itu? Jika penasaran, artikel ini akan memberikan penjelasannya. Jadi, simak sampai akhir, ya?

Dilansir dari akun YouTube @KLENTENG LASEM pada Sabtu (21/1/2023), Klenteng atau Pio adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia. Di Indonesia, penganut kepercayaan tersebut, sering disamakan sebagai penganut agama Khonghucu. Maka, tempat ibadah mereka dengan sendirinya sering dianggap sama dengan tempat ibadah agama Khonghucu.

Klenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga berperan sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa pada masa lampau.

Sejak dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen, langsung diberi nama Kwan Im Teng, sebagai bentuk persembahan kepada Kwan Im atau Dewi Pewelas Asih atau Avalokitesvara Bodhisatva.

Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya lebih mengenal kata Klenteng dibandingkan Vihara. Pada mulanya, bangunan tersebut adalah tempat penghormatan untuk arwah para leluhur "Ci" (rumah abuh).

Masing-masing warga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka. Seiring perkembangan zaman, penghormatan kepada dewa-dewi kemudian dibuatkan ruangan khusus yang dikenal sebagai Klenteng yang dapat dirumati oleh berbagai macam marga dan suku.

Di dalam tempat ini, bisa ditemukan abuh leluhur yang masih tetap dihormati para sanak saudara masing-masing. Selain itu, di dalam Klenteng juga disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur. Seperti ajaran Agama Khonghucu, Taoisme, termasuk yang mempelajari ajaran Buddha. 

Selain sebagai tempat penghormatan kepada para leluhur, para dewa-dewi dan tempat mempelajari berbagai ajaran, Klenteng juga digunakan sebagai tempat yang damai untuk semua golongan, tidak memandang dari suku dan agama manapun.

Klenteng berdasarkan fungsinya dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai fungsi ibadah, fungsi sosial masyarakat, dan fungsi politik. Berdasarkan kepemilikannya, masih dibagi lagi menjadi milik kekaisaran, milik masyarakat, serta milik pribadi.

Masyarakat awam banyak yang tidak mengetahui perbedaan antara Klenteng dan Vihara. Kedua bangunan ini pada dasarnya berbeda dalam segi arsitekturnya. Klenteng pada dasarnya, menerapkan arsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat.

Selain berfungsi sebagai tempat spiritual, Vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa, seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.

Contohnya jika di Indonesia adalah Klenteng Tay Kak Sie Semarang yang termasuk tempat ibadah agama Buddha Mahayana. Hal ini perlu diketahui bahwa Vihara dalam bahasa Mandarin adalah "si".

Contoh Vihara Shawline atau yang dikenal dengan sebutan Shaolin. Perbedaan antara Klenteng dan Vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa gerakan 30 S PKI pada tahun 1965.

Imbas peristiwa tersebut adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa itu, Klenteng terancam ditutup secara paksa.

Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi nama dari bahasa Sansekerta atau bahasa Pali yang mengubah nama menjadi Vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan.

Hal tersebut yang akhirnya terjadi kerancuan dalam membedakan klenteng dengan Vihara. Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak Vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama yang semula berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai Klenteng daripada Vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma.