Cerita Segelas Kopi Gayo 
Kopi
Kopi Hitam (Sumber : Lisa Fotios-pexels.com)

JOGJACORNER.ID - Di suatu sore semasa kuliah dulu namun lupa pastinya kapan, seorang kawan dari Lampung menawariku segelas kopi. ”Bung, ngopi bung,” ujar pria tinggi kurus dan berambut gondrong, yang akrab disapa Jarwo itu.  

Aku hanya melirik segelas kopi, yang terletak di atas tikar diantara kami berdua. Selama beberapa menit, ragu bergemuruh dalam otakku, antara ingin meminum seteguk cairan hitam atau menolak secara halus tanpa menyinggung perasaan temanku.

”Kenapa,” tanyanya sambil kedua bola matanya menatap tajam ke arahku.

”Mmmm, nggak papa Wo, aku nggak minum kopi,” jawabku.

”Lha kenapa,” Jarwo balas bertanya.

”Pasti rasanya pahit ya” tanyaku.

”Nggak lah, siapa bilang kopi rasanya pahit, iciplah dikit, ini Kopi Gayo dari Aceh, enak loh,” kata Jarwo yang terus mendesakku meminum kopi hitam yang dibuatnya.

Saat itu, menikmati seporsi makanan atau segelas minuman secara bersama-sama, menjadi kebiasaan yang ditularkan para mahasiswa perantauan kepadaku, saat mampir ke kos atau kontrakan mereka.

Dan hal itu sungguh terasa istimewa dan mampu mengeratkan kebersamaanku dan kawan-kawan berbeda suku, baik saat bercengkrama atau sekedar berdiskusi tentang berbagai persoalan yang seringkali sampai larut malam.

”Tapi beneran nih kopinya nggak pahit,” tanyaku menegaskan.

”Cobalah dulu satu tegukan, dijamin kau bakal ketagihan nanti,” balas Jarwo meyakinkanku, ditambah lagi aroma harum menguar dari gelas kopi yang memang mengundang selera.

”Minumlah,” bujuk Jarwo sambil tersenyum ramah kepadaku. Kedua bola mataku kembali menuju ke gelas kopi tersebut, kutatap sesaat lalu kuputuskan meraihnya.

Sedetik kemudian bibir gelas itu menempel di mulutku, hingga cairan hitam pekat di dalamnya mengalir ke dalam kerongkongan yang terasa kering. Dinding gelas terasa agak panas.

Saraf-saraf di permukaan lidahku mulai bekerja, ketika rasa manis gula menjalar, namun tidak dominan karena ada sedikit rasa asam. Saat itu aku minum sekitar dua tegukan, untuk mengobati rasa dahagaku.

”Gimana rasanya?,” tanya Jarwo sambil menunggu responku.

”Kau pintar bikin kopi rupanya,” jawabku sambil tersenyum.

”Iyalah,” balasnya sambil tersenyum dan memetik gitar yang baru saja diambilnya dari ruang baca kontrakannya.

Lalu, akupun terdiam menyimak petikan gitar Jarwo, dan mulai saat itulah aku tidak menolak, saat kawan-kawanku yang lain menyodori segelas kopi untuk diteguk bersama-sama.