Tak Boleh Dipakai di Tasyakuran Kaesang, Berikut Makna dan Filosofi Batik Motif Parang
Batik
Ilustrasi batik motif parang (Sumber : Twitter @H_Bakkaniy)

JOGJA-Acara pernikahan Kaesang akan diselenggarakan dengan beberapa rangkaian acara. Rangkaian acara tersebut akan dilaksanakan sejak 8-11 Desember 2022 dan di kota berbeda. Pada tanggal 10 Desember 2022 mendatang, Kaesang akan menggelar tasyakuran pernikahan di Pura Mangkunegaran. Berbeda dengan lokasi yang lain, di lokasi ini ada beberapa aturan yang harus ditaati tamu undangan saat menghadiri tasyakuran pernikahan putra bungsu Presiden Jokowi tersebut. Salah satunya adalah larangan mengenakan pakaian batik dengan motif parang lereng.


Dilansir dari akun Instagram @benangratu.majapahit pada Kamis (8/12/2022), larangan tersebut disampaikan langsung oleh Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming, yang juga kakak dari Kaesang. Meskipun demikian, larangan sebenarnya bukan datang dari keluarga, tapi dari pihak Pura Mangkunegaran. Gibran mengaku larangan tersebut merupakan permintaan dari Pura Mangkunegaran yang meminta tamu undangan tidak mengenakan kain batik motif tersebut.
"Untuk masuk pura nggak boleh ada parang lereng. Itu aturan dari Kanjeng Gusti (KGPAA Mangkunegara X, Bhre Cakrahutomo Wirasudjiwo)," kata kakak Kaesang itu saat ditemui di Balai Kota Solo, Senin (5/12).
Pura Mangkunegaran adalah lokasi resepsi pernikahan Kaesang dengan Erina Gudono. Lalu, kenapa motif batik parang lereng tak boleh dipakai dipakai saat tasyakuran pernikahan?


Baca Juga: Hari Ini Siraman Pernikahan Kaesang-Erina, Pakai Batik Motif Nogosari dan Grompol Lambang Kesetiaan


Apa filosofi dan makna sebenarnya? Parang Lereng merupakan batik yang memiliki ciri motif berulang mengikuti garis diagonal. Motif tersebut konon diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrokusumo. Motif itu diciptakan Sang Susuhunan Agung yasa lantaran terinspirasi dengan ombak yang menggulung-gulung saat melakukan meditasi di di Pantai Selatan Jawa.
Kemudian pada Dinasti Mataram sampai awal kemerdekaan Indonesia, batik motif parang lereng hanya dapat digunakan oleh para raja dan keturunannya. Seiring berjalannya waktu, sudah banyak orang yang menggunakan batik tersebut. Namun, motif parang lereng masih dilarang digunakan di lingkungan Keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Ibarat ombak laut, batik Parang berpesan pada manusia untuk tidak pernah berhenti menyerah. Batik ini menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus dalam memperjuangkan sesuatu.*