Rusak Imbas Kerusuhan PSHT-Brajamusti di Jogja, Ini Sejarah Pendopo Taman Siswa
Tamansiswa
Beberapa barang di Taman Siswa rusak akibat dari kerusuhan di Jogja pada Minggu (4/6) malam. (Sumber : Twitter @NarayaMade)


JOGJA-Beberapa hari lalu kericuhan terjadi di kawasan Taman Siswa yang melibatkan dua kelompok massa, PDHT dan Brajamusti. Imbas dari aksi tersebut membuat beberapa benda yang ada di Museum Taman Siswa rusak sehingga Kompleks Pendopo dan Museum Taman Siswa Dewantara Kirti Griya di Jalan Taman Siswa (Tamsis) ditutup sementara. Penutupan ini dilakukan untuk memperbaiki bangunan dan beberapa fasilitas yang rusak di kompleks cagar budaya tersebut.

Rusaknya beberapa barang bernilai sejarah, seperti meja dan kursi peninggalan Ki Hajar Dewantara tersebut tentunya sangat disayangkan masyarakat. Bahkan terdapat seorang wanita yang menangis histeris dan tidak rela mengenai rusaknya pendopo akibat kerusuhan karena termasuk peninggalan sejarah. Lantas, seperti apa sejarah pendopo Taman Siswa? Berikut sejarahnya.

Sejarah Pendopo Agung Taman Siswa
Pendopo Agung Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Berawal dari RM Suwardi Suryingrat yang menjadi penanggung jawab dari Sarasehan “Selasa Kliwonan” untuk mengelola pendidikan anak. Taman Lare (Taman Indria) merupakan bagian pertama berdirinya perguruan tersebut. Pendidikan dimulai dengan total 25 siswa dalam satu kelas. Gedung perguruan terletak di Kampung Tanjung, sekarang Jalan Gajah Mada (Jalan Stasiun), nomor 28 dan 30 Yogyakarta dan saat ini digunakan oleh Yayasan Taman Ibu untuk persekolahan.

Perguruan Taman Siswa terus berkembang dan jumlah siswa terus bertambah sehingga dibutuhkan halaman yang lebih luas. Untuk itu, Taman Siswa Yogyakarta yang saat itu berada di Jalan Stasiun mencoba membeli sebidang tanah yang luas. Pada tanggal 14 Agustus 1935, ia membeli sebidang tanah beserta rumah dan isinya di Jalan Wiroguna 31-33 (sekarang Jalan Taman Siswa) Yogyakarta. Luas bangunan 300 m2, berdiri di atas tanah 2720 m2. Uang yang digunakan untuk membeli tanah berasal dari "Bank Nasional" dan dilunasi dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Saat itu, Ki Sudarminta adalah Ketua Majelis Luhur dan pimpinan Bank Nasional adalah Ki R. Rudjito.

Baca Juga: Rekomendasi Drama Korea Terbaru yang Tayang di Juni 2023, Didominasi Para Idol

Perkembangannya diperluas secara bertahap melalui pembelian tanah di daerah sekitarnya. Ki Hadjar Dewantara dan keluarganya belum pindah karena ia ingin langkah itu dilakukan bersamaan dengan pembangunan pendopo di kompleks baru. Bagi Tamansiswa, pendopo adalah tempat yang penuh dengan suasana keluhuran budi. Dengan bantuan atmosfer ini, kedalaman, kekuatan, dan keagungan jiwa manusia tercipta. Kemudian ada rencana untuk membangunnya yang memakan biaya cukup besar, diperkirakan mencapai f 4.000,00 (empat ribu gulden). Salah satu cara untuk mendapatkan uang adalah dengan menggalang dana dari siswa Tamansiswa. Pada bulan Januari 1936, Majlis Luhur mengumumkan akan mengumpulkan sumbangan "Benggol bulanan" dari murid-murid Taman Siswa di seluruh cabang Indonesia.

Selain itu, peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Pusat Tamansiswa dilakukan pada 10 Juli 1938. Kemudian, pada 16 November 1938, Nyi Hadjar Dewantara mengadakan upacara peresmian pendopo. Didirikan pada tahun 1938 oleh warga Tamansiswa, berdirinya Tamansiswa Agung Pendopo merupakan monumen yang tidak terpisahkan dari Museum Dewantara Kirti Griya. Museum ini merupakan peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang menampilkan koleksi barang-barang peninggalannya dan keluarga.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendopo memiliki arti penting bagi Perguruan Kebangsaan Tamansiswa sebagai sarana ikatan keluarga yang penuh dengan suasana kebatinan sehingga dapat memperdalam, memperkokoh, dan mengangkat semangat satu-satunya dan seluruh anggota keluarga.