Ancaman Limbah Masker Usai Pandemi Covid-19
limbah masker
Ilustrasi limbah masker (Sumber : Pixabay)

JOGJA- Perjuangan masyarakat melawan Covid-19 setelah dinyatakan pandemi oleh WHO pada awal Maret 2020 terus berlanjut.


Setidaknya 116 juta kasus positif telah terdeteksi tahun ini di seluruh dunia, 1,5 juta di antaranya  di Indonesia. Situasi ini menempatkan Indonesia di urutan pertama yang sejauh ini memiliki kasus positif terbanyak di Asia Tenggara. 


Selain kasus positif di Indonesia, peningkatan sampah medis tidak bisa dihindari. Limbah medis seperti cairan medis, masker sekali pakai, pakaian pelindung dan sarung tangan tergolong limbah bahan berbahaya dan berbahaya (B3).


Perlu penanganan khusus untuk pembuangannya, karena selain mencemari lingkungan, limbah B3 juga dapat menimbulkan penyakit menular. 

Menurut hasil penelitian LIPI, virus corona dapat bertahan  di permukaan alat pelindung diri (APD) hingga 21 hari dan bergantung pada bahan yang digunakan. Jika pengelolaan sampah dilakukan tanpa meminimalisir penyebaran virus, maka dapat menimbulkan klaster-klaster kecil yang tidak terdeteksi.


Pengelolaan limbah 

Menurut UU Perlindungan Lingkungan dan Pengelolaan Limbah No. 32 Tahun 2009, yang mengatur  limbah B3, pengelolaan limbah harus ditangani oleh penghasil limbah.  Namun, berdasarkan informasi yang diterima dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga 2019, diketahui hanya 117 dari 2.877 rumah sakit di Indonesia yang memiliki izin medis B3. 


Tidak semua orang memiliki standar yang sama karena hanya 111 dari 117 rumah sakit yang menggunakan insinerator. Enam rumah sakit yang tersisa menggunakan autoklaf. Diketahui, hingga Februari 2021, jumlah sampah medis akibat Covid-19 sebanyak 6 juta ton.


Menurut studi terbaru memperkirakan jumlah limbah medis di Asia, Indonesia harus memproses setidaknya 

20 ton limbah medis dan 159 juta masker sekali pakai digunakan setiap hari.


Terbatasnya jumlah rumah sakit yang diperbolehkan untuk mengolah limbah B3 membatasi pengolahan dan mengakibatkan penumpukan limbah B3. Berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.


Pandemi juga menyebabkan penyebaran sumber limbah medis tidak hanya dari  pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit, tetapi juga dari berbagai limbah rumah tangga dan industri untuk mencegah penyebaran Covid-19.

 

Satu tumpukan sampah medis yang dibuang sembarangan ditemukan di kawasan Teluk Jakarta. Limbah B3 menyumbang 15 persen dari total sampah di Teluk Jakarta dan  meningkat 5 persen selama pandemi.


Peningkatan sampah medis yang terus menerus juga berdampak pada peningkatan jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia. Hal ini dikarenakan limbah medis digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab seperti pendaur ulang limbah medis ilegal yang tidak memiliki izin.


Selain itu, TPA ini berbahaya bagi kesehatan lingkungan. Karena alat pelindung diri sekali pakai yang banyak digunakan saat ini terbuat dari bahan anorganik yang membutuhkan waktu lama untuk terurai.


Menurut rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia, masker sekali pakai  tiga lapis adalah salah satu produk limbah yang melepaskan mikroplastik selama dekomposisi. Mikroplastik berlebih ini dapat berakhir di tanah dan badan air, membutuhkan perhatian khusus.


Pemecahan masalah 

Rantai pengelolaan kefarmasian, terutama pada masa pandemi, harus dimulai dari tingkat individu hingga tingkat nasional. Semua masker sekali pakai bekas dapat disimpan dalam keadaan terlipat dan rusak dalam wadah kedap udara.


Wadah plastik tertutup ini harus dibuang di tempat sampah khusus B3 atau tempat sampah medis. Kendaraan tersebut kemudian diangkut dan dipisahkan dari sampah rumah tangga lainnya. Hal ini berlaku untuk beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, Korea dan China.


Tempat pengapalan bukan lagi TPA (Tempat Pembuangan Akhir), melainkan tempat pembuangan akhir. Kekurangan tempat pembuangan B3 juga harus segera diisi.


KLHK dan Bappenas bertujuan untuk membangun 32 stasiun limbah B3 baru untuk didistribusikan di berbagai wilayah, dan  lima stasiun limbah B3 baru telah dibangun pada akhir tahun 2020. 


Pemanfaatan mikroorganisme 

Dengan dikembangkannya fasilitas pengolahan khusus untuk limbah medis, fasilitas pengolahan juga harus dikembangkan teknik Insinerasi atau pemanasan, yang banyak digunakan saat ini, tidak dapat menyelesaikan kekhawatiran tentang akumulasi mikroplastik, yang  mengancam kesehatan lingkungan. Biodegradasi oleh mikroorganisme dapat mengatasi masalah ini.


Kelompok bakteri seperti Pseudomonas sp dan beberapa jamur mikroskopis memiliki enzim tertentu yang mampu menguraikan berbagai polimer plastik menjadi sumber karbon dan air yang dapat dilepaskan dengan aman ke udara.


Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang sesuai dan aman serta faktor fisik dan kimia. Biodegradasi di TPA B3 yang berfungsi dengan baik membuka peluang yang lebih luas untuk menghasilkan limbah yang lebih umum dan kurang berisiko.