Sst..Pakar UGM Beri Tips Siasasi Anomali Iklim dan Kelangkaan Pangan Global, Cek Penjelasannya
Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D
Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D (Sumber : Website UGM)

JOGJA- Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D memberikan tips untuk mensiasati kondisi saat ini dengan anomali iklim dan Kelangkaan Pangan Global.


Hal riil yang dilakukan yakni inovasi teknologi dan melakukan swasembada pangan.


Menurutnya, sebagian wilayah Indonesia saat ini tengah mengalami kemarau basah, dimana musim kemarau tahun ini masih diselingi dengan hujan yang bersifat sporadis dan lebat dengan durasi cepat di beberapa tempat. Kondisi ini  sangat terasa dampaknya di kalangan petani.


Tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya, di bulan Mei dan Juni, biasanya petani sudah bisa menanam komoditas hortikultura seperti cabai atau bawang merah, tetapi di tahun ini malah sebaliknya. Sebab, pada bulan Mei dan Juni intensitas hujan masih sangat tinggi, bahkan di beberapa wilayah malah terjadi bencana banjir. Tidak sedikit petani yang mengalami gagal tanam karena perhitungan dan perkiraan waktu musim yang meleset dari perkiraan awal.


Terjadinya kemarau basah diakibatkan oleh La Nina yang merupakan kejadian anomali iklim global ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya.


Kondisi ini biasanya diikuti dengan berubahnya pola sirkulasi Walker atau sirkulasi atmosfer arah timur barat yang terjadi di sekitar ekuator dan dapat memengaruhi pola iklim dan cuaca global. Kondisi La Nina ini dapat berulang dalam beberapa tahun sekali dan setiap kejadian dapat bertahan hingga hitungan bahkan sampai tahunan. Setiap kejadian La Nina ini menyebabkan curah dan intensitas hujan semakin besar dan pergeseran periode musim hujan dan kemarau.


Upaya adaptasi dan mitigasi terkait dengan La Nina ini sangat diperlukan melalui metode prediksi cuaca secara nasional dan mendetail sampai pada level desa atau lahan. Informasi tersebut kemudian disampaikan ke masyarakat terutama terkait dengan anomali cuaca. Tidak hanya itu, edukasi dilakukan secara kontinu mengenai La Nina dan fenomena anomali cuaca lainnya serta dampaknya bagi petani bisa dilakukan lewat penyuluh pertanian yang ada di wilayah masing-masing.



Untuk mempersiapkan perubahan anomali iklim yang terjadi saat ini  bisa dilakukan adaptasi dengan inovasi teknologi.


Apalagi di dalam revolusi industri 4.0, sektor pertanian harus mampu memanfaatkan teknologi digital berbasis internet. Informasi iklim menjadi sangat penting dan krusial, tidak hanya dalam informasi mengenai informasi cuaca secara online, real time dan up to date. Hal itu dilakukan untuk menjaga supaya kejadian gagal tanam, gagal panen, serta produktivitas pertanian menurun tidak terulang kembali.


Pada prinsipnya, pemasangan teknologi sensor cuaca bisa memberikan informasi kondisi cuaca dan kondisi tanah lahan petani secara realtime dan akurat. Tidak cukup hanya sensor cuaca, tetapi juga diperlukan sensor tanah untuk mengukur tingkat parameter pH, kondisi air, tingkat kesuburan dan suhu tanah. Sensor yang dipasang tadi hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan data kondisi riil lahan sebagai bahan untuk analisis ke depan sehingga nantinya dibuat algoritma yang dapat menerjemahkan data-data yang didapat dari alat tersebut serta prediksi kedepan.


Setelah berhasil menerjemahkan dan membuat prediksi, diperlukan suatu rekomendasi mengenai apa yang harus dilakukan oleh petani dengan kondisi yang terbaca dari sensor tersebut dengan machine learning dan kecerdasan buatan (AI). Data yang dibaca lewat aplikasi bisa menghasilkan informasi cuaca dan tanah setiap waktu ke petani.


Kelangkaan pangan global saat ini membuat bangsa Indonesia mau tidak mau atau suka tidak suka harus bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Meski belum lama ini pemerintah menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI), sebagai negara yang berhasil melakukan swasembada pangan. Capaian tersebut perlu diapresiasi, namun  kita tetap tidak boleh lengah terhadap ancaman krisis pangan global. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam menyiapkan swasembada pangan secara kontinu menjadi salah satu solusi dengan cara menyiapkan ekosistem-ekosistem pertanian berbasis inovasi teknologi. 


Ekosistem pertanian yang dimaksud di sini adalah sistem pertanian terpadu, dimana dalam satu lokasi atau desa sudah tersedia, penyedia sarana produksi pertanian (saprotan) dan sarana produksi (saprodi) sebagai penyedia input dengan produk-produk yang disepakati ekosistem. Keuntungan dalam ekosistem ini adalah kepastian pasar dan mempermudah distribusi saprodi.


Yang tidak kalah penting adalah dukungan perbankan dan asuransi pertanian, sebagai penyedia platform pinjaman atau kredit bagi petani. Adapun keuntungan bagi perbankan dalam ekosistem ini adalah perluasan nasabah, pengucuran kredit usaha tani (KUT) serta kepastian pengembalian kredit oleh petani.


Lalu, di kalangan petani ketersediaan teknologi sangat dibutuhkan untuk bisa dimanfaatkan petani baik di lahan maupun teknologi digital untuk penjualan produk hasil petani. Penerapan teknologi dalam ekosistem ini adalah memberikan kepastian kepada petani dan stakeholder terkait kondisi lahan dan juga informasi komoditas hasil panen. Sementara pemerintah dalam hal ini Kementerian dan pemda  bertanggung jawab dalam kelancaran kegiatan operasional terkait perizinan kegiatan pertanian berbasis teknologi. Sedangkan dinas terkait menjadi fasilitator sebagai penyedia sarana dan prasarana pendukung budi daya pertanian berbasis teknologi.