BARU TAHU!! Indonesia Ternyata Kekurangan 30 Ribu Dokter Spesialis, Ini Alasannya
Dokter
Ilustrasi dokter. BARU TAHU!! Indonesia Ternyata Kekurangan 30 Ribu Dokter Spesialis, Ini Alasannya (Sumber : )


Baca Juga: Optimalkan Produksi Tanaman Pangan, Pemkab Sleman Lakukan Percepatan Tanam Padi

JOGJA, Jogjacorner.id- Pelayanan kesehatan menjadi salah satu perhatian utama sejak munculnya pandemi Covid-19. Meskipun telah banyak perkembangan dan inovasi yang dilakukan, problematika utama belum juga terselesaikan, seperti masalah kualitas hidup masyarakat, aksesibilitas, dan disparitas kualitas pelayanan kesehatan.


Menurut Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), sektor pendidikan memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan kesehatan di Indonesia.


“Kami berpendapat bahwa pemenuhan tenaga medis maupun tenaga kesehatan, bukan merupakan tanggung jawab Kemendikbud Ristek semata, namun ada tiga sektor penting yang saling terintegrasi, yaitu sektor perguruan tinggi, kesehatan, dan urusan dalam negeri,” ucap Prof. Ratna selaku representasi Pokjanas Academic Health System. Perguruan tinggi menjadi pilar utama dalam menanggulangi permasalahan pelayanan kesehatan di wilayah-wilayah yang belum memiliki aksesibilitas memadai.


Baca Juga: WADUH!! Olahraga Pagi saat Puasa Tak Direkomendasikan, Begini Penjelasan Pakar UGM


Policy brief yang menjadi bahasan utama webinar bertajuk “Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan” kemarin membahas tentang upaya mendorong pemerataan tenaga medis di Indonesia, khususnya dokter spesialis dan gigi.


Urgensi ini disalurkan berdasarkan data yang mencatat bahwa beberapa wilayah terbukti mengalami kekurangan tenaga medis, sedangkan wilayah lainnya justru mengalami over supply.


Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti kurangnya ketertarikan tenaga medis ke daerah terpencil karena karier yang belum jelas, dan pemerintah pusat memiliki kewenangan terbatas untuk redistribusi nakes.


Tak hanya itu, Prof. Ratna dan Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF(K)., SH., LLM mengaku setuju, bahwa sulitnya seleksi dan proses Program Pendidikan Dokter Spesialis juga menjadi hambatan bagi dokter yang ingin meneruskan pendidikannya.


“Negara harus bisa melihat pentingnya dokter spesialis saat ini bagi masyarakat. Sama halnya dengan produksi tenaga militer, perlu adanya penanganan berbeda dibandingkan pendidikan lain, karena ini terkait langsung dengan keselamatan masyarakat dan bangsa,” tutur Prof. Herkutanto.


Berdasarkan masalah tersebut, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law perlu dipertimbangkan kembali dampaknya, terkait penyelesaian problematika yang ada. Oleh karena itu, dalam policy brief yang dirancang, terdapat Academic Health System yang berperan penting mendorong produksi tenaga kesehatan.


“Kami berharap, fakultas kedokteran yang terjalin dalam AHS dapat membantu fakultas kedokteran lain yang belum memiliki spesialisasi tertentu karena berbagai keterbatasan. Sehingga, kami harap produksi tenaga kerja, khususnya dokter spesialis ini dapat meningkat,” tutur Prof. Ratna.

Mendorong produksi tenaga medis bukan perkara mudah, karena bagaimanapun terdapat proses panjang untuk menghasilkan tenaga medis yang berkualitas. Adanya peningkatan produksi, tentu tidak mengesampingkan aspek kredibilitas.


Baca Juga: Safari Tarawih Pemkab Berakhir, Ini Pesan Bupati Sleman untuk Masyarakat


“Kami terinspirasi dari Health Education of England (HEE), bahwa untuk melakukan suatu produksi, kita harus meyakinkan bahwa jumlah tenaga kerja harus tepat jumlahnya, tepat keterampilannya, dan memberikan pelayanan yang baik, serta mampu beradaptasi dengan teknologi,” ungkap Dr. dr. Setyo Widi Nugroho, Sp. BS (K) selaku Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI).