Sekitar 52 Persen Putusan MK Ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah, Ini Penjelasannya
UGM
Ilustrasi kampus UGM. (Sumber : Istimewa)

JOGJA, Jogjacorner.id- Dosen Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, SH., LLM., berhasil menyandang gelar doktor usai berhasil mempertahankan penelitian disertasinya pada ujian terbuka  promosi doktor di Fakultas Hukum UGM. Di hadapan tim penguji yang diketuai Dahliana  Hsam, S.H., M.Tax., Ph.D., promovendus membawakan disertasi yang  berjudul Penjabaran Prinsip-prinsip Pengaturan Sumber Daya Alam berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.


Menurut promovendus, penelitian disertasi yang dilakukannya berangkat dari persoalan  tingkat kerusakan sumber daya alam dari dampak izin pengelolaan sumber daya alam di berbagai wilayah. “Hal ini berawal dari implikasi peraturan perundang-undangan, ada beberapa wilayah dengan derajat kerusakan lebih besar dari daerah lain seperti di Kalimantan dan Sulawesi,” katanya.


Ia menyebutkan, antara pembuat UU dalam hal ini DPR dan pemerintah serta Mahkamah Konstitusi selaku penjaga konstitusi  ternyata sama-sama tidak konsisten dalam mengatur peraturan pengelolaan sumber daya alam terutama pengaturan UU pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya kelistrikan. Ia menyebutkan hanya 52 persen dari putusan dari Mahkamah Konstitusi  yang dilaksanakan dengan baik oleh DPR dan pemerintah. “Pembuat UU dalam hal ini DPR dan pemerintah bisa melakukan eksekusi putusan MK dengan baik atau menolaknya, ditemukan hanya 52 persen putusan MK dilaksanakan dengan baik oleh DPR dan pemerintah,” ujarnya.


Baca Juga: Organ Tubuh Tenyata Punya Jam Kerjanya Sendiri, Kamu Tak Boleh Semena-mena dengan Tubuhmu


Kendati prinsip hukum yang terkandung dalam setiap putusan MK yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh pembentuk UU (DPR dan Pemerintah), namun ada kewenangan dari pembentuk UU bisa melakukan penafsiran sendiri dari setiap putusan MK tersebut. “Jika terjadi pertentangan antara DPR dan MK maka akan menjadi problem kedepannya, negara kita tidak mengatur dan memiliki solusi akan hal ini, bicara domain penafsiran UU adalah wilayah MK, namun tidak ada daya paksa dari putusan MK pada pembentuk UU dalam hal ini DPR dan pemerintah,” jelasnya.


Ketika pertentangan terjadi menurutnya kepentingan publik yang harus diutamakan jangan sampai negara menganggap ia menjadi pewaris tunggal dari kepentingan umum dari berbagai kasus yang muncul dalam kemunculan izin pengelolaan sumber daya alam seperti pengelolaan sumber daya air, tambang hingga kelistrikan.