Peran Presiden di Era Pemilihan Langsung dalam Mengikis Politik Diametral, Ini Penjelasannya
Ilustrasi kotak suara Pemilu 2024 mendatang.
Ilustrasi Pemilu 2024.Peran Presiden di Era Pemilihan Langsung dalam Mengikis Politik Diametral, Ini Penjelasannya (Sumber : )

JOGJA, Jogjacorner.id - Pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia cenderung mengarah pada sistem presidensial. Namun, menurut Mohammad Fajrul Falaakh, sistem pemerintahan Indonesia juga “mengandung” ciri sistem pemerintahan parlementer. Ciri itu terlihat pada fusion of executive and legislative power dalam pembentukan Undang-undang, eksistensi koalisi partai politik pendukung pemerintahan dan monopoli partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan dikategorikan sebagai negara yang menerapkan sistem presidensial, Indonesia sangat dimungkinkan bisa mengalami kondisi politik yang diametral sebagai dampak prinsip winner takes all dan separation of powers.


Kondisi politik terbelah antara parlemen dan pemerintah sering terjadi pasca pemilihan langsung presiden. Keadaan ini merupakan konsekuensi logis penerapan winner takes all dalam sistem presidensial. Dalam pengimplementasiannya, winner takes all pasti menghasilkan dua alternatif logis, yaitu pemenang (yang akan menjadi memimpin pemerintahan) dan pihak yang kalah (pihak yang akan menjadi oposisi; tanpa ada kemungkinan terbentuknya pemenang bersama).


Di satu sisi, kondisi seperti ini bisa menciptakan pemerintahan yang lebih baik karena pengawasan yang dilakukan oleh parlemen terhadap jalannya pemerintahan dilakukan secara ketat. Pengawasan yang ketat membuat pemerintah bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam melaksanakan kewenangannya serta menggunakan anggaran yang disetujui oleh parlemen dengan lebih efektif dan efisien.


Baca Juga: Banyu Langit Agropark: Harga Tiket Masuk dan Deretan Spot Menarik Wisata Baru di Magelang


Sebaliknya, dari sudut pandang pesimis, kondisi ini bisa menyebabkan ketidakefektifan atau bahkan sampai kebuntuan dalam proses pelaksanaan pemerintahan karena rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah kepada parlemen dapat saja ditolak. Jika penolakan itu sampai terjadi, maka jalannya pemerintahan akan tersendat. Lihat saja yang terjadi di Amerika Serikat ketika anggaran yang diajukan oleh presiden ditolak oleh the Congress. Penolakan persetujuan itu mengakibatkan ketersediaan layanan publik menukik tajam karena tidak cukupnya pendanaan untuk membiayai pengeluaran pada sektor publik.


Ketegangan pun tidak dapat terhindar, antara pihak yang pro terhadap pemerintah dan pihak yang kontra. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka polarisasi yang tajam di masyarakat bisa menyebabkan politik diametral. Akhirnya, politik diametral itu bisa membawa dampak keterbelahan kesatuan dan persatuan bangsa.


Sejak tahun 2004, Indonesia telah menerapkan pola pemilihan langsung presiden. Konsekuensinya, kondisi politik yang diametral terbentuk setelah ditentukan pemenang kompetisi presiden dan wakil presiden. Misalnya pada tahun 2004, pemilihan presiden dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla melalui dua putaran pemilihan. Selanjutnya pada tahun 2009, kontestasi dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dalam satu putaran saja. Dalam kedua periode ini, Partai Golongan Karya yang tidak menjadi partai pengusung maupun partai pendukung pasangan terpilih tetap diikutsertakan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.


Pada tahun 2014, koalisi pendukung pasangan terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla hanya menguasai 207 dari 560 kursi di DPR, atau menjadi minoritas di parlemen. Potensi akan terjadinya deadlock sangat besar, sehingga presiden kemudian melakukan berbagai upaya untuk tetap mendapatkan dukung mayoritas di parlemen dengan menambah keanggotaan koalisi.


Baca Juga: Peringati May Day, 100 Ribu Buruh Diklaim Bakal Kepung Istana Negara, Ini 6 Tuntutan Mereka


Narasi hasil pemilihan presiden, koalisi partai pengusung, dan penguasaan parlemen menunjukkan peran Presiden Indonesia sebagai chief of legislative dan arbiter yang andal. Daya pikat untuk diikutsertakan dalam kabinet pemerintahan sangat manjur untuk menarik dukungan dari partai-partai politik. Bahkan, dapat menarik partai politik yang menjadi rival utama dalam pemilihan umum atau pemilihan presiden agar masuk dalam koalisi pendukung pemerintahan. Daya tarik inilah yang dimanfaatkan oleh seorang presiden dalam mengatasi dendam kesumat di antara para pemenang pemilihan umum dengan pihak yang kalah.


Ilustrasi hasil pemilihan Presiden Indonesia di atas juga dapat ditunjukkan bahwa terdapat kebiasaan atau perilaku yang berasal dari sistem parlementer dan diterapkan dalam kehidupan politik di Indonesia. Meskipun demikian, fungsi koalisi partai politik itu tidak dimaksudkan untuk mempertahankan eksistensi presiden. Melainkan, koalisi partai politik ini diperlukan untuk memperlancar proses interaksi antara presiden dan parlemen, baik itu dalam persetujuan anggaran pembangunan, program kerja, pengawasan, maupun sampai pada pembentukan ataupun penundaan pelaksanaan Undang-undang.


Winner takes all, origin dan survival, serta separation of powers merupakan kombinasi premis yang akan menyebabkan terjadinya deadlock atau kebuntuan dalam sistem presidensial. Kombinasi inilah yang disebut oleh Juan Jose Linz sebagai “cacat bawaan” yang terdapat dalam sistem presidensial. Karena merupakan defect, semua sistem presidensial pasti melahirkan dan melanggengkan rivalitas antara kubu pemenang dan kalah.


Dengan membawa defect dalam karakternya dan melahirkan tradisi keterpisahan, sistem presidensial tetap mempunyai jalan keluar dari kemungkinan terjadinya deadlock dalam penerapannya. Solusi atas permasalahan itu dapat dilakukan oleh presiden dengan berperan sebagai chief of legislative dan arbiter. Peran itu juga dapat ditemukan pada pengalaman di Indonesia karena sistem pemerintahan yang diberlakukan di Indonesia pasca perubahan UUD 1945 merupakan sistem presidensial.


Baca Juga: Ramai Istri pejabat Pamer Harta, Apa Itu Flexing? Simak Penjelasan Rhenald Kasali


Pengalaman Presiden Indonesia dan Amerika Serikat telah menunjukkan keberhasilan untuk menghindarkan sistem presidensial menuju deadlock, sebagaimana disinyalir oleh Juan Jose Linz. Oleh karenanya, seorang presiden harus mempunyai karakter yang dapat memainkan peran sebagai mediator atau dalam bahasa sehari-hari presiden sebagai negarawan. Tanpa itu, sistem presidensial akan menjadi mimpi yang buruk bagi kehidupan politik di negara yang menerapkannya. Jadi, tidak salah jika kemudian disimpulkan juga bahwa the center of presidential government terletak pada jabatan presiden. Jabatan ini dapat menjadi solusi atas berbagai kekurangan yang ada atau terkandung dalam sistem presidensial walaupun tetap perlu dilakukan pengaturan dan pengawasan yang baik terhadap kekuasaan presiden. Sebab, inilah satu-satunya jabatan negara yang diberikan kepada perseorangan. Dengan kodratnya sebagai manusia, maka pemegang jabatan presiden sudah pasti mempunyai kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan kewenangannya. Guna menghindari hal itu, pengawasan yang dilakukan dan penyeimbangan dari pemegang kekuasaan negara lainnya tetap harus dilakukan dengan baik dan benar agar supaya jabatan presiden tidak disalahgunakan.